Kisah Seekor Buaya

MENYAKSIKAN tayangan ditelevisi tentang persetruan antara Polisi dan KPK saya jadi teringat akan sebuah dongeng yang begitu sarat makna. Berikut adalah kisah lengkapnya.

Buaya : (terserak di darat; melihat kerbau yang menuntun anaknya lewat) “Hai teman, hendak ke mana kau dengan anakmu ini?
Kerbau : “Eh, bukan urusanmu. Tak perlu tahu.”
Buaya : (seperti terkejut: galak juga ya, pikirnya) “Ah, begini teman! Aku ingin minta tolong kepadamu. Aku tersesat tak dapat pulang ke sungai. Tolonglah, antar aku ke sungai!”
Kerbau : (iba juga dia, lalu menjawab) “Baiklah.” Lalu diangkatnya buaya itu, dibawanya ke sungai, baru saja buaya itu diturunkannya di sungai, kaki kerbau ditangkap oleh buaya “Hei, buaya. Mengapa kau gigit kakiku? Susah payah aku mengangkatmu ke sini, inikah balasanmu? Apa begitu namanya berterima kasih?”
Buaya : “Aku lapar. Pertolonganmu tidak berarti engkau akan kumakan.”
Kerbau : “Tunggu dulu, buaya. Coba tanyai lesung yang hanyut itu. Hai lesung, coba dengar! Buaya ini sudah kutolong, kupikul dan kuantarkan ke sini. Sekarang dia mau memakan aku. Baikkah itu?”
Lesung : “Ah, boleh saja. Kebaikan tidak dapat menghapuskan kejahatan. Lihat aku. Sudah lama dipakai, dianggap tidak berguna. Dibuang begitu saja.” (lalu hanyut pula sebuah kukusan usang)
Kerbau : “Hei, kukusan. Baikkah membalas kebaikan dengan kejahatan?”
Kukusan: “Mengapa tidak? Kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan. Lihat aku! Dicampakkan orang. Dianggap tidak berguna lagi. Budiku? Huh, dilupakannya.” (lalu tampak kancil di daratan; kerbau berteriak, bertanya kepada kancil).
Kerbau : “Hei, kancil! Buaya ini sudah kutolong, sekarang dia mau memakan aku.”
Kancil : “Bagaimana dulu ceritanya! Aku harus tahu dulu, barulah kuberikan pendapatku.”
Kerbau : “Buaya ini tadi tersesat di darat. Dia minta tolong supaya kubawa ke sini. Sudah kubawa dia ke sini. Sekarang dia menggigit kakiku.”
Kancil : “O, begitu. Tak bisa diputuskan di sini. Harus di tempat tadi.” (buaya diangkat kembali oleh kerbau diantarkan ke tempat tadi) “Nah, kerbau! Sekarang tendang olehmu kepalanya, Dia tidak berbudi. Jadi, biar dia mati.” (Kerbau menendang buaya itu kuat-kuat, pecah perutnya, lalu dia lari jauh-jauh).
Kerbau : “Terima kasih, kancil. Kau memang teman yang baik dan bijaksana.” (sambil pergi dari situ).

Itulah sebah dongeng yang sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang banyak terjadi dalam kehidupan manusia. Ya, buaya adalah lambang dari sebuah kegagahan namun dalam dirinya tersimpan sifat sombong, angkuh, dengki, penuh tipu muslihat. Apabila memaknai kisah tersebut saya jadi tidak habis pikir ketika ada seorang petinggi Polri di negeri ini dengan bangga dan penuh rasa percaya diri mengatakan bahwa siapa saja yang berusaha mengobok-obok polisi sama saja dengan cicak yang melawan buaya. Beliau dengan bangga menganalogikan polisi sebagai seekor buaya yang gagah berani.

Mungkin saja beliau itu lupa, atau memang kenyataannya seperti itu. Padahal sesungguhnya dalam terminologi sosial masayarakat kita, tidak pernah ada citra yang menunjukan bahwa buaya itu sebagai lambing dari sosok yang baik. Dia selalu dilambangkan dengan sifat-sifat yang buruk. Tengoklah ungkapan “buaya darat” untuk menunjukan pada sifat laki-laki yang suka main perempuan, atau dalam kisah dongeng anak-anak yang selalu diceritakan bahwa sosok buaya adalah sosok tokoh yang jahat.

Tentunya kita tidak berharap bahwa apa yang menjadi citra dalam diri buaya tidak lantas menjadi simbol dari polisi yang mencitrakan dilinya sebagai seekor buaya. Kita tidak berharap apa yang sekarang sedang dipertontonkan polisi dengan menangkap dan mempenjarakan anggota KPK bukan merupakan dari sifat buaya yang angkuh, sombong, licik dan jahat. Kita berharap itu semau hanyalah demi penegakan hukum. Dan kita berharap sifat buaya yang jahat , angkuh dan sombong hanya ada dalam dongeng belaka dan tidak pernah ada di negeri ini kisah buaya yang benar-benar jahat.

Bagi KPK, meskipun dikatakan sebagai sesosok cicak yang dianggap tidak berdaya, janganlah pernah menyerah. Belajarlah dari tabiat cicak yang sesungguhnya pintar dan cerdik. Seekor cicak yang memiliki tubuh kecil selalu mampu menyelinap dalam ruang yang sempit, menempel dalam langi-lingit yang tinggi. Dia adalah sesosok binatang yang pandai menangkap mangsanya. Dia tidak pernah menunjukkan diri sebagai sosok yang besar, menakutkan dan, berwajah garang. Namun dengan diam-diam dia mampu menangkap mangsanya. Cicak juga dianugrahi kemampuan untuk membela diri ketika diserang musuh. Dia mampu memutuskan ekornya ketika ada pemangsa menyergap sehingga dia mampu meloloskan diri dari bahaya.

Pelajaran inilah yang kiranya harus dipegang teguh oleh para pimpinan KPK. Jangan pernah berkecil hati, meskipun sebagaian orang menggagap KPK sebagai cicak yang tak berdaya. Toh menjadi seekor buaya juga tidak menjadikan dirinya dihormati dan disegani. Malah jadi gunjingan masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Partai Islam Yes! Partai Islam No!

Bandung dan Hilangnya Pesona Parijs van Java

SOMEAH HADE KA SEMAH