Partai Islam Yes! Partai Islam No!

Pemilu tahun 2009 telah berlalu dan berdasarkan perhitungan cepat beberapa lembaga survei dan hasil perhitungan manual KPU, kita telah mendapat gambaran dan bisa menebak siapa yang keluar sebagai pemenang dan siapa yang keluar sebagai pecundang. Namun ada hal yang menarik untuk kita cermati dan renungkan bersama dari hasil pemilu kali ini bahkan lebih jauh pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu tentang eksistensi parpol-parpol berideologi Islam atau memiliki basis massa pendukung Islam.

Apabila kita melihat sejarah pemilu Indonesia, rasanya partai-partai yang berideologi Islam sangat sulit untuk meraih dukungan apalagi keluar sebagai pemenang. Padahal kalau dilihat dari mayoritas pemilih yang ada adalah muslim. Ada beberapa faktor yang bisa kita kritisi dan dijadikan bahan introspeksi yang mungkin menjadi penyebab kurangnya dukungan terhadap parpol-parpol Islam tersebut.

Pertama, pemahaman pemilih tentang parpol-parpol berideologi Islam yang kurang baik. Apa yang mereka pilih adalah apa yang mereka pahami dan yakini. Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar pemilih yang beragama Islam lebih suka memilih partai yang berideologi sekuler atau nasionalis. Hal ini disebabkan oleh besarnya pengaruh sekulerisme yang sudah mengakar lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Masyarakat muslim Indonesia telah lama dicekoki oleh pemahaman yang menganggap urusan agama mesti terpisah dari urusan negara. Contoh tersahih adalah besarnya penolakan dari kalangan umat Islam sendiri terhadap pemberlakuan Undang-undang Pornografi. Kalau disadari betul, sebenarnya paham sekulerisme sengaja di sebarkan di negeri ini untuk mendangkalkan pemahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya sendiri.

Masyarakat kita seolah-olah menjadi paranoid jika mendengar kata-kata syariat Islam. Lebih menyedihkan lagi acap kali kita sering melihat reaksi yang berlebihan dari masayarakat yang merasa ketakutan kalau saja syariat Islam diterapkan di negeri ini. Ide perpecahan dan memisahkan diri selalu didengung-dengungkan sebagai sebuah ancaman. Padahal kalau kita mau jujur, masalah disintegrasi bangsa terus muncul sejak lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, sejak lebih dari 60 tahun tujuh kata tentang syariat Islam dihapus dari sila pertama Pancasila. Hingga kini isu pemisahan diri seperti yang digalang RMS, OPM tidak pernah lenyap dari republik ini. Lebih tragis lagi provinsi ke-27 di negeri ini harus rela lepas dan memisahkan diri ketika Pancasila masih kokoh berdiri. Artinya masalah disintregrasi bangsa tidak ada hubungannya dengan isu penerapan syariat Islam.

Kedua, partai-partai berideologi Islam yang hadir di panggung politik negeri ini tidak mampu meyakinkan pemilih untuk meraih dukungan. Terkadang (mudah-mudahan tidak benar adanya) partai Islam yang ada hanyalah sebatas kemasan saja yang dijual untuk menarik simpati pemilih muslim. Mereka tidak mampu mengaplikasikan dan menghadirkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara nyata dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini. Seperti masalah pengangguran, kemiskinan, kejahatan, dan seabrek masalah lainnya yang ada di depan mata. Lebih parah lagi perilaku sebagian elit parpol yang mengaku berideologi Islam justru sangat bertolak belakang. Perilakunya ada yang lebih sekuler dari partai nasionalis dan yang lebih menyedihkan lagi ada yang terlibat kasus korupsi. Seharusnya mereka tetap konsisten memperjuangkan tegaknya ajaran Islam yang hakiki, sebab dalam ajaran Islam ada kewajiban yang tidak bisa ditunaikan secara individu, melainkan harus dijalankan lewat institusi negara.

Ketiga, Partai-partai yang berideologi Islam lebih banyak berdiri dan terpecah-pecah berdasarkan aliran atau kelompok tertentu. Misalnya PPP, PKB yang lebih kental NU nya, PAN yang lebih dekat dengan Muhammadiyah, atau PBB yang banyak didukung oleh kalangan Persis. Hal ini bisa dilihat dari kasus yang pernah jadi sorotan ketika PKS mengangkat iklan tokoh Muhammadiyah dan tokoh NU. Banyak kalangan yang memprotesnya dan menganggap sebagai upaya menggembosi partai lain. Inilah yang sesungguhnya menjadi kelemahan partai-partai berideologi Islam atau berbasis massa Islam yang tidak bersatu. Terkadang terjadi kanibalisme massa pendukung di antara partai-partai Islam itu sendiri. Mereka tidak menjadikan Islam sebagai satu tujuan. Seharusnya partai yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan kelompok tapi demi tegaknya Islam yang hakiki. Tidak ada lagi Islam moderat, Islam radikal, Islam pesantren atau Islam abangan. Label-label ini sesungguhnya bisa menghambat persatuan umat Islam dan boleh jadi semua ini sengaja didesain oleh kekuatan lawan.

Yang lebih parah lagi terjadinya perpecahan dalam tubuh partai itu sendiri. Mungkin inilah gambaran jika jabatan dan kekuasaan yang jadi tujuan utama. Jangankan berharap umat ini bersatu, yang berada dalam satu partai pun sebagai sebuah jamaah harus terpecah-pecah. Sebagai contoh, PPP terpecah menjadi PPP dan PBR, PKB terpecah menjadi PKB pro Gus Dur dan PKB yang digawangi Muahimin Iskandar serta PKNU. Sedangkan PAN meskipun mengklaim sebagai partai nasionalis tapi memiliki basis masa Muhamadiyah juga ikut terpecah. Ada partai baru yang muncul dari kader-kader Muhammadiayah dan bernaung di bawah PMB.

Keempat, kurangnya dukungan terhadap parpol-parpol Islam juga disebabkan oleh adanya keyakinan idelogis yang kuat di sebagian kalangan umat Islam sendiri yang memahami bahwa mendirikan partai dan ikut pemilu dalam sistem demokrasi ala Barat dianggap tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasul saat berjuang menegakkan Daulah Islamiyah. Sehingga kelompok ini memilih untuk tidak memilih alias golput.

Harus Satu Tujuan
Lantas bagaimanakah seharusnya sikap umat Islam dan para petinggi parpol melihat kenyatan tersebut? Apakah akan tetap membiarkan diri kita ini hanya sebagai pecundang dan masuk ke dalam lubang yang sama, yaitu kegagalan dan kegagalan. Apakah kita sebagai umat yang mayoritas ini hanya akan menjadi penonton dan dijadikan objek penguasa yang biasa didekati menjelang pemilu tiba?

Kita semestinya kembali pada tujuan utama untuk memperjuangkan Dinul Islam. Partai-partai berasaskan Islam harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai syariat Islam dalam bernegara. Mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat. Mampu menjadi bagian dari solusi dari bangsa ini. Menjadi pelopor dan penggerak terdepan dalam mengebangkan ekonomi syariah. Jangan sampai kita seperti gagap dan gamang untuk menjalankan sistem ekonomi syariah di tengah-tengah kehancuran sistem ekonomi kapitalisme dan di tengah-tengah gelombang pengungsi bangsa lain yang berbondong-bondong mempelajari sistem ekonomi syariah.


Tokoh-tokoh ulama haruslah bersatu, jangan menjadikan umat ini sebagai objek yang bisa seenaknya ditarik ke kiri dan ke kanan, diombang-ambing dalam kepentingan pribadi demi kekuasaan. Jadikanlah potensi umat yang besar ini sebagai subjek yang mampu mandiri dan berjuang bersama. Bagi saudara-saudaraku yang lain, yang memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana cara menegakan Islam ini, mari kita lihat perbedaan ini sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan jangan sampai memperlemah kekuatan dan potensi umat yang begitu besar. Ibaratkan saja kini kita sedang bersama-sama menuju suatu tempat, tapi kita menggunakan jalan yang berbeda. Mungkin ada yang mengunakan jalan tol hingga cepat sampai tujuan, mungkin pula ada yang menggunakan jalan setapak, atau bahkan jalan berlubang yang penuh onak dan duri. Siapa pun yang kelak lebih dulu sampai ke tempat tujuan, harus kita hormati dan dukung. Berarti pula itulah jalan terbaik untuk kita semua. Jalan yang diridhai Allah Subhanahuwataala. Tentunya kita berharap akan ada kepemimpinan Islam yang terbangun. Sosok-sosok yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk menegakkan Dienul Islam, bukan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bandung dan Hilangnya Pesona Parijs van Java

SOMEAH HADE KA SEMAH