Postingan

Lebih Luas dari Lautan

Gambar
Kita baru bisa mengukur dan merasakan seberapa besar kasih sayang orang tua terhadap kita, ketika kita benar-benar menjadi seorang ayah atau ibu dari anak-anak kita. Kita baru bisa mengukur dan merasakan seberapa besar pengorbanan yang mereka lakukan untuk kita, ketika kita harus selalu berbagi waktu untuk membesarkan anak-anak kita. Kita baru bisa mengukur dan merasakan seberapa besar kebahagiaan orang tua kita, ketika kita benar-benar menjadi seorang ayah atau ibu yang setiap saat tahu kapan anak kita mulai bisa tersenyum, mulai bisa merangkak, mulai bisa melapalkan kata-kata meski belum jelas terdengar apa maksudnya. Sungguh luar biasa! Terkadang kita sering lupa siapa sesungguhnya tokoh yang paling hebat di dunia ini. Kita sering kali terpedaya dengan mengatakan bahwa orang terhebat di dunia ini adalah mereka yang mampu menembus bulan seperti Amstrong atau Enstein yang jenius. Padahal tidak secuilpun peran mereka dalam membesarkan kita. Dari tidak bisa apa-apa hingga kita mam

Mencari Pemimpi(N) Sejati

Gambar
“Kalau tiap hari presiden sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini selalu mengeluh tentang berbagai kritik yang ditujukan padanya lantas kepada siapa rakyat ini mengeluh?” * Saya sebagai orang awam tiap hari menyaksikan hiruk-pikuk dunia politik negeri ini. Ya, di saat tiap hari kita disuguhi berita tentang orang tua yang menelantarkan anaknya yang masih balita karena harus pergi bekerja untuk membayar kontrakan yang nunggak tiga bulan. Atau berita tentang Bilqis yang harus menjalani operasi dengan memakan biaya begitu besar, sedangkan orang tuanya tidak mampu untuk mengobatinya. Atau berita tentang penggusuran yang ricuh setiap hari warawiri di televisi. Atau juga berita tentang vonis pengadilan bagi rakyat-rakyat jelata, pemulung kapuk, pencuri pisang dan semangka. Di bagian lain, saya miris menyaksikan pemimpin negeri ini hampir tiap hari mengeluh atau sibuk mengurusi kerbau yang dianggapnya sudah merusak citra dan harga dirinya. Padahal dahulu saat kampany

Kisah Seekor Buaya

MENYAKSIKAN tayangan ditelevisi tentang persetruan antara Polisi dan KPK saya jadi teringat akan sebuah dongeng yang begitu sarat makna. Berikut adalah kisah lengkapnya. Buaya : (terserak di darat; melihat kerbau yang menuntun anaknya lewat) “Hai teman, hendak ke mana kau dengan anakmu ini? Kerbau : “Eh, bukan urusanmu. Tak perlu tahu.” Buaya : (seperti terkejut: galak juga ya, pikirnya) “Ah, begini teman! Aku ingin minta tolong kepadamu. Aku tersesat tak dapat pulang ke sungai. Tolonglah, antar aku ke sungai!” Kerbau : (iba juga dia, lalu menjawab) “Baiklah.” Lalu diangkatnya buaya itu, dibawanya ke sungai, baru saja buaya itu diturunkannya di sungai, kaki kerbau ditangkap oleh buaya “Hei, buaya. Mengapa kau gigit kakiku? Susah payah aku mengangkatmu ke sini, inikah balasanmu? Apa begitu namanya berterima kasih?” Buaya : “Aku lapar. Pertolonganmu tidak berarti engkau akan kumakan.” Kerbau : “Tunggu dulu, buaya. Coba tanyai lesung yang hanyut itu. Hai lesung, coba dengar! Buaya ini su

Partai Islam Yes! Partai Islam No!

Pemilu tahun 2009 telah berlalu dan berdasarkan perhitungan cepat beberapa lembaga survei dan hasil perhitungan manual KPU, kita telah mendapat gambaran dan bisa menebak siapa yang keluar sebagai pemenang dan siapa yang keluar sebagai pecundang. Namun ada hal yang menarik untuk kita cermati dan renungkan bersama dari hasil pemilu kali ini bahkan lebih jauh pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu tentang eksistensi parpol-parpol berideologi Islam atau memiliki basis massa pendukung Islam. Apabila kita melihat sejarah pemilu Indonesia, rasanya partai-partai yang berideologi Islam sangat sulit untuk meraih dukungan apalagi keluar sebagai pemenang. Padahal kalau dilihat dari mayoritas pemilih yang ada adalah muslim. Ada beberapa faktor yang bisa kita kritisi dan dijadikan bahan introspeksi yang mungkin menjadi penyebab kurangnya dukungan terhadap parpol-parpol Islam tersebut. Pertama, pemahaman pemilih tentang parpol-parpol berideologi Islam yang kurang baik. Apa yang mereka pilih adalah apa yan

LAYAKAH KITA MENJADI PEMIMPIN?

"Akal itu materi yang menasehati, hati itu adalah raja yang menentukan, harta itu tamu yang akan berangkat, kesenangan itu satu masa yang ditinggalkan." Hari ini, kita patut gelisah menyaksikan para calon pemimpin (baca: caleg) tanpa malu-malu memasang poster, baliho dengan tulisan berjuang untuk rakyat, padahal poster tersebut mereka pasang didepan pangkalan abang–abang becak yang tiap hari bergelut dengan nasib sekedar mencari sesuap nasi, di bahu jembatan yang di bawahnya terdapat gubuk-gubuk tua kaum miskin kota. Mereka tanpa malu menyebar dan memampang foto, meskipun harus di tempel disebarang tempat tanpa mengindahkan aturan apalagi bayar pajak reklame. Mereka asyik mengumbar janji yang entah sampai kapan akan di tepati. Layakah kita memilih pemimpin seperti ini. Inilah cermin yang tak pernah mereka sadari. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa mengemban amanah rakyat yang begitu besar, belum jadi pemimpin saja sederet aturan telah mereka langgar. Di kalangan elit po

Fatwa Golput dan Paradok Demokrasi Indonesia

Gambar
SUNGGUH menggelikan ketika sebuah hak harus digiring dan dikaburkan menjadi sebuah kewajiban untuk kepentingan politik penguasa. Inilah yang kini tengah terjadi dan tengah hangat-hangatnya diperbincangkan oleh tokoh-tokoh politik Indonesia. Semua ini terjadi ketika muncul gagasan agar MUI membuat fatwa bahwa golput adalah haram hukumnya. Benarkah langkah ini merupakan solusi terbaik untuk mendorong partisipasi publik diranah politik? Atau jangan-jangan ini semua hanyalah sebuah kegelisahan sekaligus ketakutan elit politik yang sedang haus kekuasaan dan dimabuk kepayang oleh jabatan yang melihat semakin menguatnya gejala memilih untuk tidak memilih. Dalam hal ini tentunya golput yang dibangun atas kesadaran individu untuk tidak menggunakan haknya, bukan golput yang terjadi karena alasan administratif, misalnya tidak terdaptar dalam daftar pemilih. Apabila di telahah lebih jauh lagi, fenomena golput di Indonesia memiliki kecendrungan dibangun atas kesadaran memilih untuk tidak memilih.

Bandung dan Hilangnya Pesona Parijs van Java

“Di mana bumi dipijak, di situ sampah diinjak.” Inilah sebuah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi kota Bandung saat ini. Bandung berubah menjadi lautan sampah, di setiap sudut jalan sampah berkeliaran dengan baunya yang menyergap. Bandung berubah menjadi kota yang layu, Parijs van Java pun kehilangan pesonanya. Kota Bandung yang katanya heurin ku tangtung, padat penduduk, telah berubah menjadi heurin kusampah. Selain itu, Bandung menjadi pusat migrasi penduduk secara besar-besaran, karena di sinilah pusat segala kegiatan. Pusat pemerintahan provinsi, pusat pendidikan, dan pusat perekonomian. Maka berbagai persoalan datang bermunculan, kota pun menjadi semrawut. Kemacetan terjadi hampir di setiap sudut kota. Bandung tak ubahnya sebuah balon yang ditiup melewati batas toleransinya, sehingga tak heran kalau ada yang khawatir, kota ini sewaktu-waktu bakal meledak. Perumpamaan inilah yang banyak diungkapkan warga masyarakat, termasuk oleh para jurnalis yang sering meliput kondisi

SOMEAH HADE KA SEMAH

Luyu semu hade laku, someah hade kasemah, binangkit mupusti nagari. Jawa Barat mapag zaman, tandang ngolah kamajuan. Jadi mitra ibu kota, winangun nagari RI. APA yang ada di benak anda, ketika anda mendengar kata “urang Sunda”? Apakah tergambar sebuah sosok manusia yang apabila bicara dan bersikap, serta gerak-gerik tubuhnya (bahasa tubuh) menyiratkan kehangatan dan rasa hormat. Ataukah citraan yang ada di benak anda justru sebaliknya, yang tergambar adalah sosok manusia yang berperangai kasar, kecut, bengis, mudah tersinggung, dan menutup diri. Citra diri yang melekat pada masyarakat Sunda adalah sosok orang-orang Sunda yang ramah, rengkuh, mudah menerima kehadiran orang lain. Inilah gambaran dari sebuah masyarakat yang memiliki konsep budaya “someah hade ka semah”, ramah dan manis budi atau sifat akomodatif, apresiatif, dan toleran. Konsep “someah hade kasemah” seperti di kemukakan oleh H R. Hidayat Surya Laga dalam sebuah makalahnya, mengandung beberapa gamb

MUTU PENDIDIKAN DI TENGAH PENTAS BUDAYA KOMERSIL

Di suatu pagi yang ranum, dalam riuh yang menggelisahkan. Seorang perempuan paruh baya terisak-isak di antara ratusan orang tua siswa. Ia menangis bukan karena cengeng, tapi apalah daya ketika ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit. Anaknya baru lulus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) ternyata tetap saja tidak bisa melanjutkan sekolah karena persoalan biaya yang datang membelit mereka. Berharap biaya pendidikan gratis sama halnya seperti pungguk merindukan bulan. Jauh panggang dari pada api. Ngajul bentang ku asiwung, kahayang ngan saukur satapak soang. Sekolah sebagai ajang bisnis Gambaran itulah yang kini tengah menghantui para orang tua siswa memasuki tahun ajaran baru. Harapan masyarakat untuk menikmati pendidikan secara merata ternyata hanya sebatas angan-angan. Di sekolah-sekolah, dinas-dinas pendidikan, disadari atau tidak. Sekarang ini tengah terjadi tren bergesernya fungsi sekolah dari tempat mencetak manusia-manusia bermoral, handal, dan memiliki intelektual yang tinggi