LAYAKAH KITA MENJADI PEMIMPIN?

"Akal itu materi yang menasehati, hati itu adalah raja yang menentukan, harta itu tamu yang akan berangkat, kesenangan itu satu masa yang ditinggalkan."

Hari ini, kita patut gelisah menyaksikan para calon pemimpin (baca: caleg) tanpa malu-malu memasang poster, baliho dengan tulisan berjuang untuk rakyat, padahal poster tersebut mereka pasang didepan pangkalan abang–abang becak yang tiap hari bergelut dengan nasib sekedar mencari sesuap nasi, di bahu jembatan yang di bawahnya terdapat gubuk-gubuk tua kaum miskin kota. Mereka tanpa malu menyebar dan memampang foto, meskipun harus di tempel disebarang tempat tanpa mengindahkan aturan apalagi bayar pajak reklame. Mereka asyik mengumbar janji yang entah sampai kapan akan di tepati. Layakah kita memilih pemimpin seperti ini. Inilah cermin yang tak pernah mereka sadari. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa mengemban amanah rakyat yang begitu besar, belum jadi pemimpin saja sederet aturan telah mereka langgar.

Di kalangan elit politik, kini yang sedang sibuk mereka pikirkan bukan bagaimana menyelesaikan sederet persoalan bangsa ini. Mereka sibuk menjalin pertemuan dan membangun koalisi untuk memenangkan pertarungan menjadi seorang pemimpin. Sungguh menyedihkan! Kerja belum apa-apa. Kerja baru sebatas kata-kata dan janji. Seringkali mereka berlaga seperti pahlawan bangsa. Adakah di negeri ini pemimpin yang betul-betul pemimpin? Bukan seorang pemimpi yang selalu mengangan-angankan kekuasaan, jabatan dan status sosial yang tinggi.

Hari ini kita patut bersedih. Jabatan sudah menjadi kegemaran manusia. Pernahkah kita berkaca pada masa lalu. Pada kisah-kisah tauladan nabi dan sahabatanya. Kita hari ini mati-matian untuk jadi pemimpin, sedangkan dulu Umar ra. Harus menangis ketika diserahi amanah untuk menjadi seorang khalifah. Ia takut mengemban manah yang besar, takut atas azab yang dijanjikan Allah apabila tidak bisa mengemban amanah dengan jujur dan adil.

Hari ini kita patut gelisah. Mereka berbondong-bondong pada ulama dan pondok pesantren, sekadar minta restu dan dukungan untuk jadi pemimpin. Mereka seolah bagian yang tak terpisahkan antara ulama dan umaro. Yang selalu berbuat atas tuntunan dan pijakan agama. Namun apabila kita menengok jejak rekam para pemimpin di negeri ini, acap kali mereka lupa ketika mereka punya kekuasaan. Sekadar untuk membuat UU Pornografi saja seolah-olah mereka mati langkah. Sulitnya sangat sulit untuk mewujudkannya. Banyak alasan yang dibuat-buat dan tidak sedikit mereeka yang sudah menjadi pemimpin menolaknya. Atu sekedar untuk mengeluarkan Kepres pembubaran Ahmadiyah saja mereka tak mampu, padahal mereka punya kuasa. Inikah pemimpin itu? Pemimpin yang kita idam-idamkan.

Pernahkah mereka sadar. Menjadi seorang pemimpin tidak mesti terkenal, karen seorang pemimpin yang ikhlas mengabdi tidak pernah meminta balas jasa untuk dikenang, untuk diingat-ingat kepudian dipilih, diagung-agungkan atau sekedar di tulis namanya di gang–gang dan jalan-jalan. Seorang pemimpin sejati siap mengabdi kapan pun dan di manapun. Karena ia sadar bahwa Allah maha tahu dan tidak akan lupa sedetikpun untuk mencatat setiap kebaikan yang kita perbuat ataupun sebaliknya.
Saudara-saudaraku yang sedang berjuang untuk jadi pemimpin, mudah-mudahan tidak tergores hati. Mari kita saling mengingatkan. Apa sebenarnya yang harus kita lakukan. Pahamilah bahwa ejekan dan kritikan, akan lebih baik jika kita mampu mengambil manfaatnya. Kadang ejekan dari musuh lebih jujur dari pada pujian seorang teman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Partai Islam Yes! Partai Islam No!

Bandung dan Hilangnya Pesona Parijs van Java

SOMEAH HADE KA SEMAH