MUTU PENDIDIKAN DI TENGAH PENTAS BUDAYA KOMERSIL

Di suatu pagi yang ranum, dalam riuh yang menggelisahkan. Seorang perempuan paruh baya terisak-isak di antara ratusan orang tua siswa. Ia menangis bukan karena cengeng, tapi apalah daya ketika ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit. Anaknya baru lulus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) ternyata tetap saja tidak bisa melanjutkan sekolah karena persoalan biaya yang datang membelit mereka. Berharap biaya pendidikan gratis sama halnya seperti pungguk merindukan bulan. Jauh panggang dari pada api. Ngajul bentang ku asiwung, kahayang ngan saukur satapak soang.

Sekolah sebagai ajang bisnis
Gambaran itulah yang kini tengah menghantui para orang tua siswa memasuki tahun ajaran baru. Harapan masyarakat untuk menikmati pendidikan secara merata ternyata hanya sebatas angan-angan. Di sekolah-sekolah, dinas-dinas pendidikan, disadari atau tidak. Sekarang ini tengah terjadi tren bergesernya fungsi sekolah dari tempat mencetak manusia-manusia bermoral, handal, dan memiliki intelektual yang tinggi, berubah menjadi ajang bisnis. Hal ini ditandai oleh berbagai gejala berikut ini.
Pertama, praktik jual beli (baca:jual paksa) seragam sekolah. Kalau zaman dulu hanya guru lah satu-satunya PNS yang sulit untuk melakukan korupsi, karena apa yang mau di korupsi dari sekolah. Mau korupsi kapur tulis satu truk? Rasanya tidak mungkin, tapi itu cerita lama. Sekarang banyak sekolah yang mencari keuntungan dengan mendirikan koperasi sekolah yang nantinya akan dijadikan motor penggerak berbagai pungutan. Sebagai contoh, bagi setiap siswa baru, rata-rata setiap sekolah mewajibkan membayar uang seragam seharga Rp 450.000,-.
Biaya tersebut untuk membayar berbagai kelengkapan yang meliputi: seragam sekolah, baju batik, baju takwa, kaus olah raga, satu pasang sepatu, satu pasang kaus kaki, satu potong celana/rok putih, sabuk, topi, dan lain-lain. Padahal biaya tersebut sebenarnya bisa ditekan dan tidak akan membebani orang tua. Bagi calon siswa yang memiliki kakak atau saudara yang telah selesai sekolah tentunya masih bisa memakai seragamnya. Ataupun mereka yang masih memiliki sepatu dan perlengkapan lainnya yang masih bisa dipakai seharusnya tidak diwajibkan membeli. Namun dalam kenyataannya semua itu harus dibeli dalam satu paket. Selain itu, harga barang-barang tersebut tidak lebih murah dari harga di pasar bebas dengan kualitas yang lebih bagus.
Contoh di atas baru satu jenis pungutan saja, belum untuk DSP yang jumlahnya bisa tiga kali lipat dari harga seragam sekolah. Memang Dinas pendidikan melarang setiap sekolah untuk menarik pungutan pada saat daftar ulang. Baik pungutan untuk DSP, SPP, ataupun biaya seragam sekolah. Namun kebijakan itu hanya ditaati saat pelaksanaan daftar ulang. Setelah siswa memasuki masa sekolah, para orang tua akan dikejutkan dengan surat edaran dari Komite Sekolah yang mengharuskan membayar DSP, SPP, uang administrasi (OSIS, Perpustakaan, Lingkungan Hidup, Komputer), dan uang seragam. Khusus untuk perpustakaan, padahal pemerintah sendiri telah menyediakan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengadaan buku perpustakaan, namun kenyataannya masih banyak sekolah yang memungut biaya tersebut.
Kedua, praktik jual beli buku. Pada tahun 2005 pemerintah melalui menteri pendidikan mengeluarkan Permen Diknas No. 11/ 2005 yang isinya melarang sekolah-sekolah oleh guru atau komite sekolah menjual buku pada siswa. Namun aturan tetaplah aturan, dalam kenyataannya sekolah tetap menjual buku pada siswa melalui koperasi sekolah yang nota bene dikelola oleh para guru.
Tragisnya lagi, meskipun pemerintah telah memberikan bantuan dana BOS untuk pengadaan buku. Justru hal ini menjadi semacam pemicu munculnya praktik kolusi, korupsi dengan dalih proyek pengadaan buku ajar. Lebih mengerikan lagi ada sekolah yang menerima dana BOS buku dari pemerintah tapi mereka juga tetap mewajibkan siswa untuk membeli buku dengan dalih koperasi sekolah. Hal ini benar-benar terjadi dan sangat menyedihkan.
Ketiga, pelaksanaan Penerimaan Siswa Baru (PSB) yang sarat kecurangan. Sungguh mengerikan ketika pendidikan menjadi ajang mencari keuntungan. Kita semua hanya bisa mengelus dada tanpa bisa berbuat apa-apa. Di saat tahun ajaran baru tiba, di saat itu pula ada sebagian oknum sekolah yang memperjualbelikan kursi agar calon siswa bisa diterima di sekolah negeri yang dia inginkan. Perlu di ingat bahwa tidak semua calon siswa dari tingkat SD hingga SMA bisa masuk ke sekolah negeri. Inilah lagi-lagi yang sering menjadi faktor pemicu munculnya praktik jual beli kursi.
Untuk bisa masuk sekolah negeri favorit, jika yang dijadikan standar utamanya adalah uang, bagaimana kualitasnya nanti? Mereka yang masuk sekolah-sekolah pilihan bukanlah mereka yang terpilih dari hasil sebuah proses alami, hasil seleksi yang ketat, hasil dari sebuah proses belajar yang sungguh-sungguh. Mereka yang diterima adalah mereka yang punya kuasa uang. Mereka hanya ongkang-ongkang kaki tanpa harus susah payah belajar dan bersaing.
Keadaan seperti ini apabila terus dibiarkan, lama-lama akan menggeser fungsi sekolah sebagai tempat bisnis yang hanya menampung dan mendidik anak-anak dengan kemampuan yang tidak memadai. Jangan pernah menyalahkan kalau saja di negeri ini banyak sarjana tapi tidak memiliki skil yang memadai di saat mereka siap kerja. Banyak sarjana yang miskin kemampuan karena mereka dilahirkan bukan dari sebuah proses yang benar-benar lahir sebagai orang-orang pilihan karena kecerdasannya. Mereka lahir hanyalah karena kemampuan uangnya.

Pembiayaan pendidikan
Melihat berbagai gejala bergesernya fungsi sekolah, dari tempat mendidik menjadi tempat mencari keuntungan. Perlu dirumuskan suatu sistem pembiayaan pendidikan yang menyeluruh. Bagaimana pun juga untuk meraih pendidikan yang berkualitas, kita tidak bisa mengabaikan sektor pembiayaan pendidikan. Meskipun ini bukan satu-satunya faktor penentu meningkatnya kualitas pendidikan.
Sebagai suatu investasi produktif (Dr. Ace Suryadi, M.Sc, 2004), pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep penting, yaitu biaya (cost), dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan itu sendiri, terdapat beberapa agenda kebijakan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue). Pada dasawarsa terakhir ini anggaran pendidikan terus mengalami peningkatan bahkan sesuai amanat Undang-undang Dasar, pemerintah diwajibkan mengalokasikan anggaran 20% untuk sektor pendidikan. Dengan adanya peningkatan anggaran pendidikan tersebut diharapkan dinas pendidikan dan sekolah-sekolah tidak lagi membebankan biaya pendidikan pada orang tua siswa. Jadi tidak ada lagi alasan untuk melakukan pungutan dengan dalih untuk membayar DSP atau pun SPP.
Hal berikutnya yang harus mendapatkan perhatian serius adalah aspek keadilan dalam alokasi anggaran. Konsep ini menganggap bahwa pembentukan SDM yang bermutu akan dicapai secara efisien jika biaya pendidikan didistribusikan secara adil antar segmen masyarakat. Setiap warga memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk mewujudkan pendidikan yang merata, setiap satuan pendidikan perlu di dukung oleh anggaran pendidikan yang relatif merata. Tugas ini tentunya harus dijalankan secara konsisten oleh pemerintah sehingga sekolah-sekolah yang kekurangan dana dalam pengelolaan pendidikan tidak lagi membebankan kepada para orang tua siswa.
Aspek keadilan inilah yang seyogianya dapat menjadi pendorong pemerataan pendidikan. Jadi bukan hanya orang berduit saja yang bisa bersekolah dengan kualitas yang bagus tapi masyarakat kurang mampu pun bisa merasakannya.

Perlu kerja sama
Melihat berbagai persoalan yang terdapat dalam dunia pendidikan kita, terutama menyangkut pembiayaan, diperlukan adanya kerja sama dari semua pihak. Pemerintah sebagai pemegang kendali harus konsisten menjalankan amanat yang telah digariskan Undang-Undang Dasar tentang peningkatan anggaran pendidikan. Sehingga seluruh warga negara memperoleh pendidikan yang layak dan murah. Pemerintah juga harus tegas menjalankan aturan, jangan hanya dijadikan hiasan program kerja belaka. Mereka yang melanggar, merekalah yang mesti ditindak. Jangan hibur rakyat ini dengan janji-janji kosong, dengan aturan yang tidak pernah dijalankan secara tegas.
Perhatikan nasib guru dengan sungguh-sungguh. Kesejahteraannya harus tetap terjaga, mereka pun perlu hidup yang layak. Jangan biarkan mereka mengalihkan fungsinya sebagai pendidik yang ulung menjadi pembisnis yang tanggung. Mereka adalah ujung tombak yang harus tetap diperhatikan.
Dinas-dinas pendidikan, sekolah-sekolah (beserta seluruh perangkatnya) harus tetap konsisten dan mereposisi kembali perannya sebagai lembaga pendidik yang harus menghasilkan SDM dengan memiliki integritas tinggi serta kualitas yang memadai. Hal ini tentunya bisa dicapai apabila sekolah dijalankan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai lembaga pendidikan bukan sebagai lembaga bisnis yang melihat siswa dan orang tua sebagai pasar potensial untuk mendapatkan keuntungan yang menggiurkan. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Partai Islam Yes! Partai Islam No!

Bandung dan Hilangnya Pesona Parijs van Java

SOMEAH HADE KA SEMAH